Nampak dari kejauhan orang berkerumun
disertai kobaran api, tak bisa dibilang kecil karena bisa menghangatkan tubuh
dalam radius 10 meter. Sebenarnya saya tidak tertarik sedikitpun untuk melihat,
akan tetapi karena memang asupan energi malam ini berada didekat kerumunan,
maka terpaksa saya berada didekatnya. Saya berada di antara dua api, kurang lebih 13 meter dari api besar dan 2 meter dari api kecil.
Merujuk pada asas manfaat kedua
api tersebut, api kecil justru lebih bermanfaat. Api kecil bisa membuat
racikan Pak Bagong sempurna menjadi asupan energi di waktu malam, sedangkan api besar nampaknya hanya sebagai sebuah perwujudan
dan penyampaian aspirasi yang entah kemana juntrungnya. Ini bukan permasalahan
keterpaksaan seperti halnya ketika si lumba-lumba yang terpaksa harus
melompat-lompat untuk sekedar mendapatkan makanannya, melainkan sebuah
eksistensi yang nampak dipaksakan keberadaanya.
Kemasan yang melingkupi api besar
terkesan dipaksakan, itulah perlunya konsep dan strategi. Berbicara tentang
kemasan saya pun tak mampu memberikan deskripsi, kerangka teori empiris maupun
sistemik tentang kemasan yang bagus. Karena saat ini saya hanya sebagi konsumen
atas segala hal peristiwa yang tertangkap oleh indrawi saya sehingga sah-sah
saja saya menilai sebuah kemasan peristiwa.
Pak Bagong sudah saya kasih
mandat untuk meracik asupan energi malam ini. Bersamaan dengan aroma asupan
energi dan suara logam berbenturan, riuh suara dari 4 orang bernyanyi-nyanyi didekat
api besar. Sesekali terdengar semacam
orasi dengan pengeras suara yang terdengar hambar di telinga saya (maaf saja
karena lidah saya dan telinga saya hampir saja esensinya sama). Mungkin karena
gendang telinga saya beberapa dekade yang lalu merasa asin, manis, kecut dan
pahit nya pergolakan idealisme, birokrasi dan eksistensi.
Syarat didengarnya suatu aspirasi
yang pertama adalah adanya telinga dan adanya mata. ketika api berkobar mata
sasaran sudah terbawa lelap oleh air liurnya. Ketika orasi berkumandang
layaknya kaleng yang diseret sayang nya telinga sasaran sudah terlarut bersama
sang mata. Sayang nya saya belum pernah melihat rumus dan teori
direalisasikannya suatu aspirasi diatas suatu hal, yaitu kepentingan.
Saking lamanya Pak Bagong meracik
energi sehingga mata melakukan pencitraan sebuah obyek persis disamping tempat
praktek Pak Bagong. Beberapa individu di dekat api ada yang sibuk mengabadikan aktivitas
mereka dengan gaya masing-masing. Kelak dikemudian hari mereka akan berkata ini
adalah AKU, perjuangan ku, kepekaan ku, idealisme ku (idealisme, kepekaan dan
perjuangan untuk bakar-bakar di pinggir jalan sambil berfoto). Wajar saja petugas
pengawas santai karena situasi kondisi dalam durasi 1 jam nampak hambar sepi
akan kekuatan perubahan yang mereka usung. Terlebih lagi pengawas tidak bertugas
mengawasi orang berfoto ria dan ber video.
Lima dari 20 orang dalam
kerumunan meneriakan yel yel aspirasi. Kucoba resapi dengan merunut pada konsep
tangga nada do re mi fa so la si do yang ber oktav namun tetap saja tak ku
rasakan kemerduan dan kesyahduan nya (mungkin saya bukan musisi yang handal). Sementara
itu ada yang menyampaikan aspirasi nya dengan ber foto, ber video dari berbagai
posisi dan bergantian satu dengan yang lainnya. Mungkin itu untuk bukti fisik
pada kehidupan selanjutnya, atau hanya sekedar untuk display picture medsos. Sebagain
yang lain duduk sambil merokok seolah berdiskusi serius nampak pada kerutan dan
pergerakan tubuh disaat diskusi. Tapi sepemahaman saya mereka sedang asik
merokok saja sambil cerita game online yang karakternya belum naik level.
Pak Bagong
menepuk, dan rupanya saya telah lama ngrogosukmo ke alam langit tingkat atas, sehingga
kaget ketika tepukan Pak Bagong mendarat di pundak saya. seiring dengan
turunnya saya dari langit tingkat atas karena tepukan Pak Bagong kepundak
rupanya disertai hujan gerimis. Saya lihat kiri kanan kerumunan hilang, api
padam dan suara pidato telah hilang. Anehnya ada orang 20 jengkal didekat saya yang
tadinya berada di kerumunan dengan api besar, sambil bernyanyi dan berorasi.
Jangan – jangan semuanya luntur karena hujan? jangan – jangan kobaran idealisme
dan semangat kepekaan mati karena hujan? atau saya hanya berhalusinasi ketika
Pak Bagong meracik energi?
Saya pulang dengan
menaiki kuda besi dan meletakkan asupan energi itu pada tempatnya dengan
proporsi yang pas.