SKEMA PERPUTARAN BUMI PADA POROS NYA

Bulan ini dan bulan sebelumnya hukum alam senantiasa tetap berjalan seperti biasa, dan  secara periodik memunculkan bermacam-macam instrumen kehidupan. Ada yang memberikan rangsangan dalam skala yang luas dan ada yang hanya berskala lokal. Luasnya skala meliputi keluasan bumi kemudian diimajinasikan dalam bentuk globe, dan terpajang di sudut ruang. Indrawi yang terangkai dengan porsi, presisi, dan akurasi yang proporsional dengan disertai akal pikiran dalam diri menjadi perangkat keikutsertaan. Sensitifitas perangkat dipengaruhi oleh banyak hal, kepentingan, konsepsi, doktrin, serta  idealisme, dan atau hanya sekedar mengalir begitu saja. Semua itu bermuara pada kontribusi diri untuk meramaikan perputaran bumi pada porosnya.

Setiap instrumen mebawakan tema tersendiri baik yang majemuk maupun tunggal. Namun pada esensinya kemajemukan adalah keniscayaan untuk hukum alam. Sudut pandang akan menentukan keluasan pemahaman tentang kemajemukan.

Dibutuhkan metode untuk merangkai instrumen dengan baik, tepat dan benar. Metode tersebut bisa ditemukan di berbagai literatur, baik yang bersifat konkrit, ambigu bahkan multitafsir. Jika baik, tepat dan benar akan memunculkan interpretasi tanpa kontradiksi pada perputaran waktu. Walapun terkadang nampak memunculkan kontradiksi akan tetapi waktu akan memberikan jawaban dalam bentuk instrumen tahap selanjutnya sebagai bukti akan kebaikan, ketepatan, serta kebenaran.

Kemunculan instrumen yang berdekatan secara fisik memberikan stimulus lebih kuat. Baik instrumen yang bersifat insidental maupun tidak. Seperti halnya dalam beberapa bulan ini tema yang muncul dari beberapa instrumen serasa sama walaupun datang dari realita yang berbeda. Kedekatan instrumen memberikan dorongan kuat untuk merangkainya membentuknya dan bahkan mewujudkannya dalam tindakan nyata.

Tema instrumen saat ini mengacu pada naluriah kemanusiaan. Korelasi naluriah kemanusiaan dan rasa seperti halnya skema yang tak terpisahkan. Perhelatan rasa tercium kuat seiring dengan sedikit demi sedikit terbukanya tabir dalam tiap instrumen. Terbukanya tabir bukan karena ketidaksengajaan namun karena instrumen terlalu klasik. Mudah untuk menentukan metode dan acuan yang super valid guna menghadirkan  konklusi sebagai titik dalam sebuah kalimat. Intepretasi yang muncul tidak semulus seperti apa yang digambarkan dari sebuah kebenaran, ketepatan dan kebaikan. Biarkan perputaran bumi pada porosnya yang akan memberikan bukti  kebaikan, ketepatan, serta kebenaran terhadap interpretasi yang sekarang ada.

Dominasi rasa menjadikan ketidakstabilan, yang berimbas pada metode dan acuan yang digunakan, itu biasa serta wajar adanya (kata dari sebagian mereka). Jika senantiasa seperti itu output yang dihasilkan bukan seutuhnya ketegaran tetapi kecenderungan mengulang proses sehingga itu dirasa benar-benar benar, baik dan tepat. Bertanya dan senantiasa bertanya untuk kemudian  memunculkan keraguan menjadi santapan  harian dibalik metode dan acuan super valid yang ada.

Ada sebuah keniscayaan yang kedua sisi nya bermata tajam guna mencapai konklusi dan titik dalam kalimat. Keniscayaan tersebut muncul bersamaan dengan berjalannya waktu. Akan merugikan jika setiap sisi kebaikan di sandarkan padanya, namun akan menguntungkan jika itu ditempatkan pada semestinya. Sayang nya keniscayaan yang menguntungkan sering kali jauh diatas kendali kita. Namun sebaliknya jika keniscayaan itu merugikan terasa sepenuhnya berada dalam kendali kita. Keniscayaan itu adalah lupa.

Bersandar pada datangnya keniscayaan dari perputaran bumi pada porosnya, kemudian memunculkan rasa nyaman dalam diri dengan mengabaikan hukum alam dengan berbagai macam instrumen yang ada hanya akan menggerogoti eksistensi indrawi, akal dan pikiran. Metode yang muncul jauh dari konklusi yang baik, benar dan tepat. Atau justru itu metode yang  yang baik, benar dan tepat?? Entah apa yang menjadi acuan namun itu dirasa yang terbaik, yang terbenar dan yang paling tepat.

Takut menerima dampak dari sebuah kebenaran, ketepatan dan kebaikan?? Atau kah memang merasa nyaman dalam keadaan.

Bersambung....  loading ilham

NB:
Kata yang terkandung dalam tulisan diatas menggunakan kamus bahasa sendiri, adapun istilah kata yang ada bisa saja diartikan tidak sama seperti pada umumnya.
Namun secara garis besar istilah kata tulisan diatas adalah sama seperti pada umumnya.
Semua itu terjadi karena saya dan anda belum pernah menyepakati istilah kata secara bersama-sama.

Penafsiran yang beragam mutlak karena kesalahan saya yang ternyata belum memahami anda.
Jika pun ada penafsiran yang benar, itu juga pasti menurut anda karena bisa saja saya punya penafsiran yang berbeda.

Tidak ada maksud untuk menyinggung berbagai pihak karena saya tidak tahu pihak mana yang akan tersinggung.
Kalaupun ada, itu juga karena saya belum memahami anda.


Sanepo (anggep koyo dene Mbuang Maruto)

Iki Mung sakdermo cerito kanggo pepeling mergo ora iso sak naliko metu jlentrehane nganggo paugerane ilmu paningal...

Kabeh pesthene perkoro dunyo mung gadahe Gusti Alloh SWT

Mbledose salah sawijine gunung ing tlatah jawi kuwi ditengeri kanti metune sawer buntet/bentek kang wujude koyo bebek sing cacahe 7.. Ora ateges kuwi bebek lan ora ateges kuwi mau di arani sawer. Makhluk kuwi mau nyoto ora nyoto ananging wektu kuwi ono. Banjur makhluk kuwi dipernahke kanti jeneng sawer buntet mbebeki. Bisone diarani koyo bebek kuwi mau naliko lagi nglangi ono sajerone dalan banyu koyo grojogan banjur lakune koyo bebek. Banjur bisone diarani sawer amargo wujude koyo sawer ananging ora dowo utowo buntet/bentek. Sawer buntet mbebeki metu koyo ngurut grojogan kang wus ono dalane banyu, ora ombo dalane banyu, dudu lemah lan dudu wedi kang dadi pinggire. Tumekone ora banjur nganggo takeran wektu kang suwi lan rut urutan.

Manungso ono sing ngerti lan ugo ono sing ora ngerti perkoro kuwi mau.
Abang mencoronge gunung ora soko pucuk ananging soko bongkote gunung lan soko awake gunung. Suorone mbrebegi kuping, awu ne kandel ora ukuran, mripat angel melek lan irung saknaliko koyo ora iso ambegan.
Banjur tumurune krikil podo dene koyo mudune udan.
Ora lor kidul wetan kulon sakabehane entuk musibahe gunung kuwi. Igir kidul kang maune koyo dene bucu kang lancip saknaliko bubrah amargo mbledose soko awake gunung.
Manungso podo bingung mlayu bubrah pecah sak naliko nylametke awake dewe, lali sanak kadange.
Ora banjur gunung kuwi leren naliko mbledos soko awake.
Ora ganti suwe sak uwise mbledose gunung, ono manungso kang nduwe pinemu yen gunung wes rampung anggone mbledos, sahinggo nduwe roso aman banjur nduweni keniatan kanggo mbaleni bondhone kang ora iso kegowo. Ora dinyono naliko manungso podo mbaleni njupuk bondho dunyone gununge ngetokke watu panas kang encer abang wernone disusul wedus gembel kang banget panase.
Pati kuwi wes pesthene Gusti Alloh SWT banjur ora biso manungso milih dalan mati kejobo mung nglakoni dalan sing apik kanggo sangu mati...
Gusti Alloh SWT wis paring pepeling lan wanti wanti pirang pirang, sak ayem ayeme manungso ing waktune mbledose gunung yo kuwi manungso kang netepi sakabehe dawuhe ALLOH SWT. Semeleh, pasrah, waras slamet lan kabegjan kuwi ora banjur didelok soko urip lan orane naliko mbledose gunung ananging soko kahanan sing ono ing ngarepe. Mung begjone begjone wong kuwi kang ngerteni sejatine urip mung kanggo ibdaah marang Gusti ALLOH
Bakale ora katon maungso kang mati. Banjur sing urip mung biso nyawang ilange manungso kang podo mati.
Masya Alloh Laaquwwata Illa Billah